Sebelumnya, tempat ini hanyalah hutan yang
disebut Alas Mentaok, yang diberikan kepada Panembahan Senopati oleh Sultan
Pajang karena Senopati telah membantu menyelamatkan Pajang. Pada tahun 1575,
Panembahan Senopati, yang menjadi raja Mataram Islam yang pertama, membangun
kawasan ini dan menetapkannya sebagai kota ibukota.
Kotagede menjadi ibukota hingga tahun 1640.
Setelah itu raja ketiga Mataram Islam, Sultan Agung memindahkan ibukota ke Desa
Kerto, Plered-Bantul. Ibukota baru ini terletak sekitar 6 km di sebelah barat
Kotagede. Menurut ceritanya, pemindahan ini dengan alasan untuk mendapatkan
kekuatan dan kejayaan yang lebih besar secara mistis. Sekarang tinggal sedikit
saja barang peninggalan dan bangunan penting Mataram Islam yang masih tersisa
di kota tua ini. Beberapa di antaranya adalah makam kerabat Pangeran Senopati,
dinding dan fondasi salah satu pendapa (ruang depan kerajaan), dan Sendang
Selirang – sebuah kolam tempat mandi keluarga kerajaan. Ketiga peninggalan
sejarah ini terletak di dalam suatu halaman tertutup, bersama dengan masjid
kraton Kotagede, di sekitar 200 m ke arah selatan pasar tradisional Kotagede.
Pemakaman dibuka untuk umum setiap Senin dan
Kamis dari pukul 10.00 sampai 12.00 dan Jumat pada pukul 13.00 – 15.00. Para
pengunjung harus mengenakan pakaian tradisional Jawa: batik. Pakaian ini
disewakan di lokasi tersebut.
Di antara barang peninggalan sejarah tersebut,
kita masih bisa menemukan bangunan-banguinan lainnya yang lebih memperkuat daya
tarik kota ibukota lama ini. Di antaranya adalah rumah milik rakyat Kalang.
Mereka diduga merupakan penduduk asli Kotagede dan terkenal sebagai seniman.
Mereka membuat ukiran kayu dan emas. Mereka berasal dari wilayah kerajaan
Majapahit Hindu di Jawa Timur dan Bali, yang diminta negara Mataram Islam untuk
memenuhi kebutuhan akan seni.
Setelah ditinggal Sultan Agung pada tahun
1700-an, Kalang menjadi kaya raya karena pekerjaan mereka ini, Mereka membangun
rumah mewah dengan arsitektur Hindu Jawa. Pada masa berikutnya, sekitar tahun
1800 hingga 1900-an, muncullah Joglo Jawa (arsitektur tradisional Jawa), dengan
musholla, dan ornamen-ornamen Arab. Sebuah perubahan penting terjadi selama
tahun 1920-1930-an, ketika Kalang yang dimonopoli oleh Belanda (Pemerintah
Kolonial) menangani pegadaian dan perdagangan berlian dan opium. Pada masa ini,
Kalang membangun rumah-rumah mewah dengan arsitektur Barok Eropa. Rumah
keluarga Pawiro Sentiko di Jalan Kemasan merupakan salah satu bangunan yang
bisa kita temukan di sini. Pawiro Sentiko adalah pengusaha sukses pada saat itu
yang memiliki 13 pegadaian di Jogja.
Rumah-rumah rakyat jelata di Kotagede diatur di
kampung khas yang disebut “Kampung Alun-Alun”. Rumah-rumah ini dibangun
berdesakan di jalanan yang sempit, bagaikan lorong, karena atap dan
bangunan-bangunan di depannya saling tumpang tindih. Di kampung ini kita bisa
melihat para pengukir yang bekerja membuat kerajinan perak Kotagede yang indah
dan terkenal (www.yogyes.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar